Sudah lama
rsanya ana tidak membuat catatan baru d blog ana ini. Ana ingin mohon maaf juga
kepada rakan-rakan yg sentiasa mengikuti perkembangan blog ana ini kerana ana
jarang membuat catatan baru d blog ana ini. Ana bukannya apa setiap intipati yg
terdapat d blog ana ini semuanya ana akan membuat kajian terlebih dahulu
sebelum berkongsi dengan rakan-rakan d blog ana ini. Diharap segala intipati yg
cuba ana serapkan kepada rakan-rakan sekalian sedikit sebanyak memberikan
pengetahuan, input dan juga pelajaran kepada rakan-rakan sekalian.
Pada petang
yg sungguh indah ini ana cuma ingin berkongsi dengan rakan-rakan sekalian
berkenaan dengan "Kunci ke Pintu Syurga". Sebelum itu maaf dipohon
terlebih dahulu kerana mungkin catatan kali ini agak panjang kerana ianya telah
dihuraikan secara mendalam. Diharap rakan-rakan dapat meneliti setiap apa yg
cuba ana sampaikan disini.
KUNCI PINTU
SYURGA
Dan tiada
ilah (yang benar) selain Dia
Pertama dan
Terakhir
Ikrar bahwa
tidak ada yang berhak untuk diibadahi selain Allah adalah kewajiban pertama
setiap orang. Maknanya, sebelum mengikrarkan hal ini, apa pun yang dikerjakan
oleh seseorang tidak ada nilainya di sisi Allah, meski ia bersedekah emas
sebesar gunung Uhud. Ikrar inilah yang menjadi pembeda antara seorang muslim
dengan seorang kafir.
Rasulullah
saw. bersabda:
“Aku
diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan ‘Laa ilaaha
illallaah’, maka siapa yang mengucapkan ‘Laa ilaaha illallaah’ terjagalah
dariku harta dan jiwanya kecuali dengan haknya. Adapun hisabnya itu urusan
Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan ikrar itu
pula kewajiban yang terakhir. Maknanya, saat seseorang dijemput maut, hatinya
mesti dalam keadaan mengikrarkan hal ini. Jika demikian halnya ia akan
mendapatkan kebahagiaan abadi, sedangkan jika sebaliknya yang didapatkannya
adalah api yang menyala selama-lamanya.
Rasulullah
saw. bersabda:
“Barangsiapa
yang akhir ucapannya (sebelum mati) adalah ‘Laa ilaaha illallaah’ niscaya masuk
surga.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Kunci
Bergerigi
Ketika
menjelaskan perihal hadits di atas, Imam Bukhari menyitir pernyataan Wahab bin
Munabbih (34-110 H), seorang tabi’in, saat ditanya tentang ungkapan ‘Laa ilaaha
illallaah’ adalah kunci surga. Wahab bin Munabbih tidak menampik pendapat itu.
Beliau membenarkannya dengan memberikan catatan.
Katanya:
“Setiap kunci
pastilah bergerigi khusus. Maka jika kamu membawa kunci dengan gerigi yang
tepat, pintu pun terbuka untukmu, sedangkan jika gerigi kuncimu tidak tepat
pintu pun tak akan terbuka.”
Berangkat dari
pernyataan Wahab bin Munabbih inilah para ulama menjelaskan bahwa gerigi yang
dimiliki oleh kunci surga ‘Laa ilaaha illallaah’ ada tujuh. Jika diri kita
memilikinya dengan tepat, pintu surga terbuka untuk kita. Ketujuh gerigi itu
adalah:
1. Ilmu
Seorang yang
mengikrarkan ‘Laa ilaaha illallaah’ mestilah mengerti makna dan konsekuensi
kalimat ‘Laa ilaaha illallaah’ yang diucapkannya. Tanpa diikuti pemahaman dan
ilmu yang benar tentang makna dan konsekuensinya, ikrar seseorang takkan
bermakna. Apalah makna ucapan seorang yang mabuk yang hanya memahami sebagian
dari ucapannya? Atau ucapan orang tidur, bermimpi, dan ‘ngelindur’?
Allah
berfirman:
“Ketahuilah
bahwa tiada ilah (yang haq) selain Allah.” (QS. Muhammad: 19)
Rasulullah
saw. juga bersabda:
“Barangsiapa
mati sementara ia mengerti bahwa tidak ada ilah (yang haq) selain Allah,
niscaya masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Yakin
Setelah
mengilmui dan mengetahui makna yang terkandung dalam kalimat ‘Laa ilaaha
illallaah’ supaya ikrarnya diterima Allah, seseorang mestilah yakin akan hal
itu. Keyakinan yang tidak disertai keraguan sedikitpun.
Al-Qurthubi
menyatakan:
“Pelafalan
dua kalimat syahadat saja tidaklah cukup (sebagai syarat masuk surga); harus
ada keyakinan hati.”
Pernyataan
beliau sesuai dengan firman Allah:
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yan benar.” (QS.
Al-Hujurat: 15)
3. Menerima
Karena
keimanan seseorang tidak berhenti pada keyakinan, maka apa pun yang ditunjukkan
dan menjadi konsekuensi kalimat ‘Laa ilaaha illallaah’ harus diterima. Menolak
satu perkara saja sama dengan menolak keseluruhannya. Yang demikian itu karena
apa-apa yang ditunjukkan dan menjadi konsekuensi kalimat ‘Laa ilaaha illallaah’
adalah satu kesatuan yang jika dipisah-pisahkan menjadi tidak berarti.
Jika perkara
yang ditunjukkan dan menjadi konsekuensi kalimat ‘Laa ilaaha illallaah’ berupa
kabar maka wujud penerimaan kita adalah meyakini kebenarannya; jika itu sudah
terjadi kita yakin bahwa itu sudah terjadi, dan jika itu belum terjadi kita pun
mesti yakin bahwa itu pasti terjadi. Adapun jika perkara yang ditunjukkan dan
menjadi konsekuensi kalimat ‘Laa ilaaha illallaah’ berupa perintah atau
larangan maka kita tidak boleh meyakini kebalikannya. Yang wajib adalah yang
diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya; yang haram adalah yang diharamkan oleh
Allah dan Rasul-Nya juga.
4. Patuh
Yang dimaksud
patuh di sini adalah pangkal kepatuhan atau iradah (kehendak) hati. Maksudnya:
saat menghadapi ayat-ayat perintah atau larangan, tidak boleh terdetik di hati
kita keengganan atau kesombongan untuk melaksanakannya. Bukankah Iblis dilaknat
dan dicap kafir karena enggan dan sombong?
“Maka demi
Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga menjadikan kamu (Nabi
Muhammad saw.) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Yang perlu
diperhatikan di sini adalah bahwa orang yang tidak melaksanakan perintah atau
melanggar larangan belum tentu ia enggan dan sombong terhadap perintah atau
larangan itu. Bisa jadi ia lalai, tidak sengaja, atau terpedaya oleh tipuan
setan seperti halnya Adam yang mendekati pohon ‘terlarang’. Dan Adam tidak
dilaknat dan tidak dicap kafir oleh Allah karena pelanggaran yang dilakukannya
itu.
5.
Sebenar-benarnya
Maksud
sebenar-benarnya (shidiq) di sini adalah tidak menipu Allah (baca: menipu diri
sendiri) dan tidak bermain-main dalam mengucapkan kalimat ‘Laa ilaaha
illallaah’. Ibnu Rajab Al-Hambali menyatakan bahwa orang yang mengucapkan ‘Laa
ilaaha illallaah’ lalu ia mentaati setan dan hawa nafsunya dalam bermaksiat
kepada Allah dan menyelisihinya, sama saja ia telah bermain-main dengan
ucapannya. Perbuatannya mendustai ucapannya.
Allah
berfirman:
“Di antara
manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian’
padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak
menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri
sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah: 8-9)
6. Ikhlas
Ikhlas
artinya memurnikan setiap perkataan dan perbuatan hanya karena Allah. Maknanya,
apa pun perkataan dan perbuatan yang menjadi konsekuensi dari kalimat ‘Laa
ilaaha illallaah’ mesti dihadirkan karena Allah, bukan selain-Nya. Yang
demikian itu karena suatu perkataan atau perbuatan tidak akan diterima oleh
Allah jika diikuti dengan riya’ atau sum’ah.
Dalam sebuah
hadits qudsi, Allah swt. berfirman:
“Barangsiapa
mengerjakan suatu amalan hal mana ia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku dalam
amalan itu, niscaya aku tinggalkan ia dan sekutunya.” (HR. Muslim)
7. Cinta
Yang dimaksud
cinta di sini adalah mencintai kalimat ‘Laa ilaaha illallaah’, semua
konsekuensinya, dan mencintai orang-orang yang komitmen kepadanya. Kemudian
membenci dan memusuhi apa saja yang bertentangan dengan kalimat ‘Laa ilaaha
illallaah’. Begitu pun dengan orang-orang yang menentangnya.
Allah
berfirman:
“Dan di
antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah;
mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang
beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Mengertikah
Para Sahabat?
Kadang muncul
pertanyaan, apakah para sahabat dulu juga mengerti bahwa gerigi kunci ini ada
tujuh? Bagi yang mengerti bagaimana kodifikasi suatu ilmu itu hadir mestinya
tidak kesulitan menjawab pertanyaan ini. Sebab, adanya para ulama menyatakan
bahwa gerigi kunci ini ada tujuh adalah karena mereka mengkaji bagaimana
kehidupan para sahabat; dan mereka mendapati bahwa meski para sahabat tidak
tahu gerigi yang tujuh itu tetapi kehidupan mereka mencerminkan bahwa ketujuh
gerigi itu sudah mendarah daging dengan mereka.
Wallahu
a’lam.
No comments:
Post a Comment